Setelah resign dari perusahaan cabang tempatku bekerja dulu, sebenarnya aku masih ingin tinggal di Semarang. Oleh sebab itu ketika pimpinan kantor cabang tempatku bekerja berencana hendak membelikanku tiket travel untuk pulang ke Blora, aku menolaknya dengan alasan bahwa aku masih ingin mencari pekerjaan lagi di kota ini.
Melalui sebuah lowongan pekerjaan di gerejaku, akhirnya aku mendapat pekerjaan di sebuah pabrik di daerah Bawen, Salatiga. Mungkin ini pekerjaanku yang paling berat, karena aku harus bangun lebih pagi dari biasanya dan berjalan kaki sekitar 30 menit dari kosku ke jalan lewatnya bus kantor. Bus tersebut hanya lewat sekali saja pada jam 07.00 WIB. Jika aku sampai terlambat dan ketinggalan bus, maka aku harus naik kendaraan umum untuk sampai ke pabrik.
Perjalanan sekitar satu setengah jam dari Semarang ke Bawen membuatku sering mengantuk di dalam bus. Ada teman kerjaku yang menyarankanku pindah kos saja ke Ungaran supaya lebih dekat kalau berangkat kerja, tetapi aku menolak karena aku tak ingin tinggal jauh dari teman-teman gerejaku di Semarang. Aku rela tiap hari mondar-mandir Semarang-Bawen untuk tetap tinggal di kota ini dan terus bekerja.
Hanya sebulan lamanya aku bekerja di Bawen dan pindah kerja di sebuah gereja. Kali ini aku cukup senang karena jarak kos dengan gerejaku cukup dekat. Aku menikmati pekerjaanku yang mana sebagian besar tugasku berhubungan dengan kaum muda-mudi di gereja. Aku belajar banyak hal disini, bertemu banyak orang, dan sering bepergian keluar kota untuk ikut pelayanan gereja.
Lima tahun lamanya aku tinggal dan bekerja di Semarang, kota yang berjarak 127 km dari kampung halamanku itu. Aku pulang ke Blora hanya setahun sekali. Karena aku sangat suka bekerja, hari Minggu pun aku bekerja sampingan sebagai petugas penjaga kantor Sekretariat Minggu yang melayani urusan perpanjangan kartu anggota gereja. Selain itu aku suka tinggal disini karena disini aku mempunyai lebih banyak teman daripada di kampungku.
Tetapi suatu ketika, penyakit gangguan pencernaanku kembali kambuh :& dan aku sering diopname di rumah sakit. Tubuhku melemah dan aku sulit makan. Aku tidak kuat bekerja lebih lama lagi. Kenyamananku seakan terenggut oleh penyakitku. Dengan terpaksa aku harus pulang. Hatiku masih berontak saat aku tahu aku harus kembali ke kampung halamanku. Jika bisa memilih, aku masih ingin bekerja dan tinggal di Semarang.
|
Suasana masuk kota Blora |
Saat di dalam perjalanan pulang ke Blora, tak henti-hentinya aku muntah di dalam taksi. Untung waktu itu aku pulang bersama temanku. Ia yang membantuku memegangi kantung kresek dan menyadarkanku saat aku pingsan di dalam taksi.
Perjalanan pulang ke Blora terasa begitu lama. Badanku terasa makin lemas karena kekurangan cairan. Aku pikir hidupku berakhir di dalam taksi. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena aku masih bisa bertahan walau terus muntah.
Sesampainya di rumah, aku melihat ayahku sudah menungguku di depan rumah kami untuk menyambut kedatanganku. Ketika aku turun dari taksi, semua orang di sekitarku melihat ke arahku. Mereka melihatku dengan tatapan aneh karena aku keluar sambil dibopong temanku. Tubuhku sudah seperti rangka berjalan karena kurang gizi makanan yang cukup saat sakit.
Aku menangis ketika sampai di rumah karena aku merasa gagal bekerja. Uang yang seharusnya kutabung dan kudapat saat bekerja dulu habis ludes untuk biaya rumah sakit. Aku kembali ke Blora dalam keadaan pengangguran dan penyakitan.
Melihat keputusaanku itu ayahku mencoba menghiburku. “Sudah jangan menangis, uang bisa dicari. Yang penting kamu sehat dulu.” Aku pun mencoba untuk tenang dan menerima kenyataan ini. Setelah aku berhenti menangis, teman yang mengantarku tadi kembali ke Semarang dengan sopir taksi.
Aku sangat sedih berpisah dengan teman-temanku. Hari-hari sepi kulalui di Blora karena aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Makan, tidur, dan muntah setiap hari. Aku berpikir mau jadi apa aku ini? Aku hanya bisa menyusahkan ayahku. Di usia senjanya aku sungguh tidak tega jika ia masih harus merawatku. Aku merasa gagal dan hal itu terus membuatku merasa bersalah.
Setiap hari aku berdoa untuk kesembuhanku. Aku harus sembuh dan bangkit dari keterpurukanku. Dan mujizat itu benar-benar terjadi. Lewat sebuah pengobatan alternatif aku sembuh. Lambat laun aku berhenti muntah dan aku mulai latihan makan secara normal.
Kejadian yang tidak pernah terbesit dalam benakku pun terjadi. Setelah aku mulai pulih, tiba-tiba cobaan datang kembali. Ayahku mengalami kecelakaan dan harus dirawat dirumah sakit. Waktu itu aku baru sadar, jika aku tidak pulang ke Blora, maka aku tidak bisa menolong ayahku saat tabrak lari itu terjadi. Aku membawa ayahku naik becak ke UGD. “Untung ada kamu di sini, Sus. “ kata ayahku.
Syukurlah ayahku tertolong meski harus menjalani perawatan di rumah sakit selama 2 minggu dan sering bolak balik ke rumah sakit karena harus rawat jalan. Lambat laun beliau sembuh.
Bagiku tinggal di sini itu lebih baik. Blora memang lebih sepi jika dibanding Semarang tetapi arus transportasi di sini lebih dekat dan terjangkau dengan naik sepeda. Dulu, aku tidak tahu apa rencana Tuhan dalam hidupku. Namun setelah melalui semua itu, sekarang aku baru tahu bahwa kepulanganku ke Blora tidak sia-sia. Aku bisa lebih dekat dengan ayahku dan memperhatikan kesehatannya setiap hari. Aku pun menemukan pekerjaan baru meski hanya bisa kukerjakan di rumah. Aku membuka usaha sendiri sesuai apa yang bisa kulakukan. Dengan bekerja sendiri, aku bisa lebih bebas mengatur waktu namun tetap dapat penghasilan sehingga aku bisa mencukupi kebutuhan hidup kami berdua.