Laman

  • HOME
  • LOMBA BLOG
  • ARTIKEL
  • TUTORIAL
  • JUAL SUPERGREENFOOD

Masyarakat Peduli TB

Moocen Susan | Sabtu, Juni 21, 2014 | 10 Comments so far
  
Saat seseorang mengetahui bahwa dirinya terdiagnosa kena TB prosentase kekhawatirannya sebesar 50 % dan ada juga yang berpikir untuk bunuh diri sebesar 9 %. Ketakutan ini disebabkan karena bayangan mereka akan TB yang merupakan penyakit pembunuh nomer 1 di antara penyakit menular dan berada di urutan ketiga dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Dimana sebagian besar penyakit ini menyerang kelompok usia produktif dan masyarakat ekonomi lemah. Bahkan TB menjadi penyebab tersering kematian pada ODHA. 

   Kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku hidup bersih dan sehat berkaitan erat dengan TB. Disamping itu wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB. 

   Bicara soal TB memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengingat TB adalah penyakit kronik yang salah satu kunci keberhasilan pengobatan adalah kepatuhan dari penderitanya sendiri (adherence) maka  ketika penderita sudah tahu penyebabnya dan solusi untuk mengobati serta kepatuhannya dalam meminum obat TB hingga tuntas sehingga dia menjadi sembuh. 

   Repotnya kalau penderita tidak patuh dalam meminum obatnya sehingga menjadi resisten/ kebal obat. Nah kalau sudah resisten istilahnya MDR TB, pengobatan bisa mencapai 2 tahun, efek samping jadi lebih berat, jumlah obat yang diminum juga lebih banyak dan biayanya juga semakin mahal. Belum lagi kalau menyerang organ tubuh lainnya/ komplikasi wah betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan?

   Tak hanya itu saja, selain pasien TB mengalami dampak fisik berupa keterbatasan dalam melakukan kegiatan fisik secara normal mereka juga mengalami dampak sosial dan mental yaitu dikucilkan di masyarakat. 

   Beban TB khususnya di Indonesia masih sangat tinggi dimana setiap tahunnya masih ada 460.000 kasus baru dan sekitar 186 orang per hari meninggal dunia akibat .Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. 

   Mengingat bapakku sendiri adalah penderita TB yang sudah resisten terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) akibat ketidakpatuhannya dalam meminum obat TB yang berjangka 6-9 bulan itu, sempat membuatku berpikir juga bagaimana dengan nasib penderita TB yang lain yang tidak/ belum terjangkau oleh pelayanan medis?

    Seperti yang sudah saya tulis di artikel saya serial 1 disini, mereka yang tidak terjangkau ini diantaranya yaitu : 

  • Pengidap TB yang tidak mendapat akses kesehatan sama sekali misalnya karena : 
  • Kemiskinan → karena miskin, tidak punya uang untuk berobat sehingga menyebabkan penderita enggan berobat.
  • Terdiskriminasi → TB itu kan penyakit menular. Karena penularannya melalui udara misalnya ketika penderita sedang berbicara atau meludah, dari batuk, bersin, dahak penderitanya maka kita bisa dengan mudah tertular yaitu ketika kuman yang terpecik tadi kita hirup. Oleh sebab itu penderita TB biasanya cenderung dijauhi orang lain karena takut ketularan tadi, akibatnya penderita akan merasa terdiskriminasi.
  • Tingkat kewaspadaan dan pengetahuan mengenai penyakit TBC yang rendah sehingga tidak tahu kapan dan mengapa harus mencari bantuan tenaga kesehatan→ nah disini diperlukan peran dari LSM (lembaga swadaya masyarakat untuk mengedukasi masyarakat tentang TB. 
  • Terbatasnya layanan kesehatan dan pendistribusian yang tidak merata, kesulitan ekonomi: biaya pengobatan, biaya transportasi dan hilangnya pendapatan, konflik dan rasa kecurigaan. 
  •  Pengidap TBC yang tidak terdiagnosa karena tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang diagnosa TBC. Hal ini disebabkan karena gagalnya mengidentifikasi gejala dan tanda penyakit TB, tidak akuratnya alat diagnostik penyakit TBC, dan sulitnya akses ke pemeriksaan penunjang. 
  • Pengidap TBC tidak tercatat apakah sudah diobati atau belum meski sudah terdiagnosa . Hal ini disebabkan karena tidak adanya kerjasama dokter pribadi, laborat, rumah sakit, dan layanan kesehatan publik atau pemerintah atau lembaga non pemerintah , lemahnya sistem pencatatan/ pelaporan. Tidak adanya suatu kewajiban untuk pelaporan kasus penyakit TBC oleh para penyelenggara layanan kesehatan. 

   WHO memang telah mengupayakan strategi DOTS yaitu pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) sebagai langkah komprehensif dalam menanggulangi TB. 
    Dimana tujuan utama strategi DOTS yang memiliki 5 komponen utama : dukungan pemerintah, obat, mikroskop, pengawas dan laporan ini yaitu menyembuhkan 85% dan mendeteksi 70% orang-orang yang terinfeksi TB. 
   Strategi ini tidak cukup bila hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Peran LSM sangatlah signifikan dalam menyukseskan DOTS. LSM dapat menyediakan pelayanan terkait dengan TB melalui klinik atau rumah sakit. Di sini, LSM akan berperan sebagai pelayanan baris kedua (second line treatment) untuk para penderita TB. 
   LSM bisa berperan sebagai pendidik masyarakat dalam perawatan TB. Hal ini diperlukan karena banyak dari masyarakat yang tidak mengerti tentang bagaimana gejala TB, perawatan dan cara pengobatannya. LSM juga dapat mendorong perawatan berbasis komunitas (community based care). Melalui perawatan ini, LSM mendorong komunitas untuk lebih peka terhadap penderita TB dengan program-program yang dibuat oleh komunitas tersebut. 
   Selain itu, LSM juga dapat membuat sebuah riset yang berguna untuk perkembangan dalam penanggulangan TB Selain itu, komitmen seluruh komponen masyarakat juga diperlukan dalam pengendalian TB di negara kita ini demi terwujudnya Indonesia bebas TB. Oleh sebab itu dibentuklah sebuah wadah kemitraan untuk mendukung program tersebut yang diberi nama Stop TB partnership Forum Indonesia. Kepatuhan penderita TB juga berperan penting demi kesembuhan dirinya sendiri. 
   Indonesia telah menginisiasi beberapa model inovatif untk keterlibatan pasien dalam pengobatan dan pengendalian TB. Rencana Aksi Nasional tentang keterlibatan masyarakat dan pasien TB telah disusun pada 2010. Sebuah perkumpulan Nasional pasien TB didirikan pada 2008 yaitu PAMALI TB dan piagam hak dan kewajiban pasien TB telah disusun dengan mengadopsi “Patient Charter” yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. 
   Lalu, bagaimana dengan peran serta kita sebagai warga masyarakat dalam upaya pengendalian TB ? Langkah sederhana yang perlu kita lakukan diantaranya : 
  1. Tidak mendiskriminasi/ mengucilkan penderita TB agar mereka tidak takut dan cemas karena tidak bisa diterima di masyarakat. 
  2. Mendorong tetangga yang terdeteksi terjangkit TB serta anggota keluarganya untuk segera memeriksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala TB diantaranya batuk lebih dari 2 minggu, demam dan keringat dingin di malam hari, nafsu makan berkurang sehingga berat badan menurun. 
  3. Memberikan informasi kepada tetangga tentang TB dan pengobatannya serta tentang pentingnya mengenakan masker bagi pasien TB agar tidak menularkan kuman bagi orang disekitarnya. 
  4. Mengingatkan tentang bahaya merokok kepada teman/ kenalan/ tetangga/ kerabat yang bisa mengakibatkan TB. 
  5. Mendeteksi secara dini TB pada anak-anak dengan gizi buruk, yang hidup dengan HIV, tinggal di tempat tinggal kumuh dan kurang ventilasi udara yang baik.
  6. Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan perumahan di masyarakat.
sumber referensi:
- http://www.tbindonesia.or.id/
- www.kpmak-ugm.org
- www.tanyadok.com 

Berbagi Tugas

Moocen Susan | Jumat, Juni 20, 2014 | 3 Comments so far
   Akhir-akhir ini aku capek banget bolak balik keluar kota, ngurus surat ini itu untuk prosedur pengobatan bapakku. Kerjaanku jadi terbengkalai, aku sering batalin les dan rasanya mulai malas ngapa-ngapain. Mau ikutan lomba blog juga ogah-ogahan, apalagi kalau syaratnya berat. Perhatianku sepenuhnya kepada bapakku. Memperhatikan perkembangannya, makannya, minum obatnya, mengatur jadwal ketemu dokternya. 

    Aku sangat terbantu dengan keberadaan adikku di Semarang, jadi kami bisa saling bagi tugas. Meski aku sering tepar di mobil ketika mengantar bapakku, tapi rasanya puas bisa mengantar ortu sendiri. Beberapa waktu yang lalu sempat bergumul mau berobat kemana dan puji Tuhannya, step by step Tuhan pimpin langkahku. 

   Kartu BPJS sudah kuurus, rujukan sudah siap semua dan rencana akan berangkat keluar kota lagi besok Selasa. Aku sungguh tidak menyangka, kalau aku bisa melakukan semuanya ini. Aku sungguh hanya memikirkan bapakku, tak ada yang lain. Aku mengabaikan kelemahan dan ketakutanku demi kesehatan beliau. 

   Tadi pagi aku begitu marah, karena bapakku eman-eman makan buah sirsat yang sudah jamuran. Kadang beliau susah sekali dinasehati. Mungkin kekuatiranku terlalu berlebihan, tapi itu semua karena aku sangat sayang bapakku. Mungkin maksud bapakku irit makanan, tapi kadang beliau suka simpan makanan terlalu lama dan aku paling cerewet kalau ada makanan ga segera dimakan. 

   Efisiensi dan efektivitas waktu sangat kuperhitungkan ketika hendak melakukan segala sesuatu termasuk keberangkatan kami ke Semarang. Aku dan adikku saling bertukar informasi dan terus SMS/ telepon. Aku mencari informasi tentang prosedur ini itu dan melibatkan banyak orang karena aku tidak mau salah langkah. Aku ingin memastikan bahwa jalan yang kutempuh ini sudah benar, sehingga tidak ada lagi kesalahan. Aku memang cenderung perfeksionis. Adikku kuminta untuk datang langsung ke rumah sakitnya untuk menanyakan mekanisme dan syarat-syarat yang harus dilengkapi dan kabarnya dokter hanya membatasi 3 orang yang bisa mendapat kesempatan berobat dengan BPJS. Wah, semoga masih keburu daftar hari itu.
   
   Berulangkali browsing website, cari dokter, cari prosedur yang benar, baca artikel tentang obat-obatan yang diminum, memperhatikan setiap perkembangan bapakku dan aku jadi kurang tidur karena bapakku makannya tidak umumnya orang makan. Sehingga minum obatnya jadi mundur-mundur. Duh kadang gemes juga. Sampai pada titik puncak keletihanku. Aku benar-benar berserah pada Tuhan. Mengalir dan jalani saja apa yang di depanku. Harapan kami berdua cuma 1 yaitu kesembuhan bapak.

Pengalamanku Mengurus BPJS untuk rawat jalan & inap di luar kota

Moocen Susan | Kamis, Juni 19, 2014 | 23 Comments so far
   Hari ini aku ke kantor BPJS untuk mendaftar sebagai peserta BPJS (non-PBI : bukan-Penerima Bantuan Iuran-red). Setelah kemarin sempat maju mundur untuk bikin BPJS. Yah, beginilah kalau kurang informasi :( 

   Untuk mendaftar 1 formulir untuk sekeluarga minimal yang didaftarkan harus 2 orang. Jika akan menambahkan anggota keluarga lagi, pakai formulir baru lagi dilengkapi dengan fotokopi berkas seperti diatas. Tapi kemarin waktu datang ke kantornya untuk kedua kalinya daftar 1 orang juga boleh. Alurnya sebagai berikut : 
  1. Mengisi formulir pendaftaran dilengkapi dengan fotokopi KK, KTP, dan pas foto berwarna 3x4 = 1 lembar. 
  2. Setelah itu serahkan pada petugasnya → dapat catatan nomor rekening BPJS untuk kita transfer biaya ke Bank. Iuran wajib dibayarkan sebelum tanggal 10 setiap bulannya. Lewat tanggal itu bisa kena denda. Untuk kelas 1: Rp. 59.500, kelas 2: Rp.42.500, kelas 3: Rp.25.500,- 
  3. Sampai di bank kita dapat slip bukti setoran → kembali lagi ke kantor BPJS menyerahkan bukti setoran tadi 
  4. Kita mendapat kartu BPJS dari kantor. 
Untuk prosedur rawat jalan ke rumah sakit luar kota: 

  1. Setelah kita mendapat kartu BPJS datanglah ke dokter keluarga Anda/ kalau aku ke puskesmas. 
  2. Daftar ke loket pendaftaran di puskesmas dan serahkan kartu BPJS dan kartu berobat 
  3. Setelah dipanggil masuk ke ruang dokter, minta rujukan ke rumah sakit setempat 
  4. Dari ruang dokter, kembali ke loket pendaftaran menyerahkan surat dari dokter tadi 
  5. Masuk ke ruang sekretariatnya untuk mendapat rujukan puskesmasnya. 
  6. Surat rujukan dari puskesmas dibawa ke rumah sakit umum
  7. Ambil nomer antrian
  8. Jika sudah dipanggil, serahkan kartu BPJS asli + fotokopinya, surat rujukan puskesmas asli, kartu berobat RS
  9.  Masuk ke ruang dokter dan minta surat rujukan dari rumah sakit ke rs yang dituju
  10. Ke bagian informasi untuk mendapat nomer surat rujukan.
  11. Pergi ke kantor BPJS lagi untuk mendapat stempel.
untuk prosedur rawat inapnya:
cukup bawa surat rujukan dokter keluarga, rujukan rumah sakit setempat (yang sudah di stempel di kantor BPJS ) dan fotokopi kartu BPJS.

Tulisanku di Gado-gado Femina Edisi 23

Moocen Susan | Rabu, Juni 18, 2014 | 15 Comments so far
   Aku pernah ada dalam situasi dimana aku sudah putus asa tidak mau kirim naskah lagi karena sering ditolak. Namun anehnya selalu saja ada teman yang memotivasiku untuk terus menulis. Kali ini motivasi itu datang dari temanku mbak Rebellina Passy. Beliau sudah 2x tembus gado-gado femina. Wow, aku kagum. 

   Aku tidak mau hanya berhenti pada rasa kagum akan seseorang, aku pun juga harus berusaha untuk dikagumi. Karena kekaguman saja tidak akan mengubah apapun kalau kita tidak mau berusaha. Akhirnya aku mencoba untuk menulis hal-hal yang menarik dalam hidupku. 

   Aku menulis 20 naskah dan yang akhirnya diterima malah tulisanku yang ke-9. Aku kirimnya waktu itu 17 Maret 2014 dan aku mendapat kabar kalau tulisanku akan dimuat via email tanggal 8 Mei 2014. Dalam email pemberitahuan itu aku diminta untuk melengkapi surat dan diberi materai Rp.6000 lalu dikirim balik ke admin femina. Pada bulan Juni 2014 (edisi 23 periode tanggal 7-13 Juni 2014) tulisanku nyantol di gado-gado femina berjudul Ayam. Judul aslinya sih Ayam Tetangga, mungkin biar penasaran kali ya dipangkas jadi Ayam aja hihi. 

   Oya asiknya lagi setelah tulisan dimuat, aku juga minta bukti terbit. Masalahnya kemarin mau beli di Blora kagak ada yang jual femina. Harga Majalahnya Rp. 25.000,-. Ok, pada penasaran bagaimana sih cerita Ayam-ku itu? Pada kenyataannya aku sebel banget sama ayam tetanggaku ini, tak kusangka yang membuatku sebel luar biasa malah dimuat. 
kalau kurang jelas bisa baca tulisan dibawah ini / bisa juga pake kaca pembesar hihi..

  Ayam 

Aku juga heran mengapa ayam tetanggaku itu selalu menyerangku. Mungkin ini hukum karma


    Tiap hari aku pergi ke pasar kecil yang terletak di belakang rumah dengan melewati samping rumah tetanggaku. Itu jalan pintas, lebih dekat daripada jika lewat pertigaan jalan raya. 

   Awalnya nyaman-nyaman saja lewat jalan potong ini, hingga kemudian aku merasa terusik dan takut karena tetanggaku itu memelihara seekor ayam yang galak. Ini sungguhan, ayam berbulu lebat berwarna putih itu berperilaku galak. Sorot matanya tajam, seakan mengawasi gerak-gerikku dan selalu bertendensi menyerang dan mematuk. 

   Pagi itu, aku ada keperluan ke pasar. Aku pun mengendap-endap mencari dimana posisi ayam itu berada. “Wah, aman nih. Ayamnya tidak ada.” Merasa situasi aman, aku melangkahkan kaki dengan percaya diri. Namun tiba-tiba, langkahku terhenti, ayam galak itu berdiri persis di depan pintu masuk ke dalam pasar. Seperti seakan mencegat. 

   Aku tidak punya pilihan selain terus maju, karena jika aku berbalik, ayam itu pastu akan mengejar… Jantungku berdegup kencang, aku takut ayam itu akan menyerang. Perlahan-lahan kulangkahkan kaki melewatinya.

    Tetapi sorot matanya yang tajam itu terus mengikuti gerakan kakiku dan… ia pun mematuk kakiku! Tanpa ampun! Aduh… Kuusap kakiku yang terkena patukannya. Paruhnya cukup kuat untuk membuat luka yang lumayan dalam. Aku juga heran mengapa ayam tetanggaku itu selalu menyerangku. Mungkin karena dulu aku suka mengganggu anak ayam peliharaan ibuku. Hukum karma. Padahal, aku hanya gemas melihat anak-anak ayam yang mungil itu. Tetapi rupanya, induknya tidak suka, ia marah dan menyerangku. 

   Rupanya ada dendam kambuhan antara para ayam denganku, termasuk si ayam tetangga. Suatu hari ada seorang ibu menggendong anaknya lewat jalan itu. Dari kejauhan aku mengamati ibu itu. Aku penasaran karena ayam itu tidak mematuk dan menyerang si ibu. “Oh, rupanya ibu ini berjalan dengan tenang, makanya ayam itu tidak menyerangnya,” pikirku menganalisis. Keesokan harinya, aku mulai memberanikan diri lagi lewat jalan itu, mencoba melangkah tenang menirukan si ibu yang kemarin lewat. 

   Percaya tidak, aku berjalan sambil komat-kamit berdoa saking takutnya. Untuk berjaga-jaga, aku membawa alat penangkis serangan, yaitu payung. Kalau ayam itu macam-macam, akan kubuka payungku untuk melindungiku. 

   Aku mencoba berjalan tenang, walaupun jantung berdegup kencang. Sial, ayam itu seperti bisa membaca kepura-puraanku. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja tanpa ampun ayam itu mulai menyerang payungku secara bertubi-tubi! Ia seperti setengah terbang untuk mencari celah untuk mematukku. Menakutkan! 

   Aku benar-benar kewalahan. Dan akhirnya, aku menyerah kalah dengan berlari sekuat tenaga menuju pintu pagar dan berusaha menutupnya. Aku sungguh trauma. Duh, yam, apa salahku, sih…. 

   Pagi itu aku sudah mempersiapkan senjata lain, batu-batu kecil untuk melindungi diri. “Awas, ya, ayam, kalau macam-macam padaku, kulempar batu-batu ini,” Sekarang aku malah kejam. 

   Eh, mana si ayam kejam itu? Aku menoleh ke kanan kiri, tak tampak sosoknya yang gesit itu. Dan betapa terkejutnya saat melihat ayam itu ada di halaman rumah tetanggaku tergeletak lemas…mati. 

                                                          ***
Nah buat teman-teman yang mau kirim naskah juga, ini syaratnya : 
  • Tulisan sepanjang 3 halaman folio 
  • Font : Arial, Size: 12, Ketik 2 spasi 
  • Kirimkan ke email : kontak@femina.co.id 
  • Subyek : Rubrik Gado-gado_Judul Naskah 
  • Cantumkan nama, alamat, HP, nomor rekening dan NPWP kalau ada di akhir naskah 
  • Kirim dalam bentuk file *rtf (rich text formatting) di attachment (bukan dalam body email)
 Ok. Happy writing… ^^

Akhirnya Berobat ke Semarang

Moocen Susan | Rabu, Juni 18, 2014 | 6 Comments so far
   Tuhan menjawab pergumulanku selama ini. Dia sangat peduli padaku, ketika aku kemarin sudah menyerah dengan berbagai macam prosedur, Dia buka jalan lagi untuk menolong bapakku. 
   
   Setiap kali bapakku tidak menghabiskan makanannya, mengeluh lemas dan pegal-pegal di punggungnya hatiku sangat miris. Jus buah dan jamu yang diminum seakan tidak membantu meredakan sakitnya. Dalam kebingunganku aku berseru kepada Tuhan, usaha apa lagi yang harus kulakukan untuk menolong bapakku. 

   Teringat kembali beberapa tahun yang lalu, sahabatku di Semarang yang pernah menderita TB dan sembuh, bercerita tentang dokter yang menanganinya. Sudah lama dia menganjurkan agar aku membawa bapak ke dokternya. Tapi waktu itu aku masih enggan karena belum ada uang dan harus keluar kota, sementara selama ini pengobatan kami selalu ditanggung pemerintah. Selain itu kondisiku masih belum terlalu fit seperti sekarang, akibat bile refluks yang menyiksaku. Sehingga untuk keluar kota aku masih takut makan sembarangan. 

   Memikirkan transportasi ke Semarang sempat membuat kepalaku pusing. Karena pamanku ternyata tidak bisa mengantar, travel tidak ada yang bisa nyampe ke tujuan kami, tadinya aku berencana menginap di kos adikku dan kami berangkat naik motor gantian pikirku ternyata adikku menyuruh kami naik taxi wah ongkosnya akan membengkak kalau seperti itu. Ah itu bukan ide yang bagus. Aku mencoba browsing cari sewa mobil di internet, dalam kebingunganku itu tiba-tiba ada sms masuk dari pamanku yang mengabarkan kalau hari Selasa baru bisa mengantar, tadinya kami berencana hari Minggu/ Senin berangkat. SMS paman itu melegakanku. Aku bersemangat. 

   Soal biaya, aku mengambil uang di tabunganku hasil menulis kemarin. Dan ga cuma itu aja, tiba-tiba ada teman gereja yang datang ke rumah memberi kami sejumlah uang untuk berobat. Sebentar kemudian ada petugas JNE datang mengirimkan hadiah voucher belanja dari hasil lomba blog kemarin. Disini aku melihat penyertaan Tuhan. Ini memang kehendak Tuhan supaya aku membawa bapak berobat segera. Kalau Tuhan yang suruh, pasti Dia kasih jalan berkatNya. 

   Selasa pagi jam 02.30 aku bangun dan memasak nasi untuk bekal makanku. Jam 04.00 kami berangkat menuju Rembang naik angkutan umum. Ya kami memang sengaja lewat Rembang mengingat jalan Blora-Purwodadi jalannya sedang diperbaiki dan sering macet lama. Kami berjalan ke tempat pemberhentian bus sekitar 50 meter dari rumah. Disana sudah ada sebuah bus yang ngetem. Ada 4 orang termasuk sopir yang ada di dalam bus. Kami harus menunggu beberapa orang lagi untuk berangkat. Perutku terasa mual karena kedinginan, tapi aku berusaha rileks. Setelah bus berangkat, aku merasa agak tenang. 

   Kunikmati perjalanan itu dengan hati yang tenang. Tuhan sedang memberiku damaiNya. Sesekali aku ngemil pisang karena lapar dan nasi yang kubawa belum ada lauknya. Pikirku mau beli lauk dalam perjalanan saja. Selama perjalanan suasana masih tampak gelap, kami melewati hutan dank arena keanginan aku pun masuk angin. Terasanya baru setelah kami sampai Rembang kami turun di TRP Kartini dan pindah ke mobil pamanku. Paman tidak ikut, hanya kami dan sopir pamanku yang naik ke mobil itu. Di mobil perutku semakin mual. Aku mencoba makan pisang lagi tapi pisang itu terasa kecut sehingga lambungku perih sekali. Sampai di Kudus, aku mulai keringat dingin dan muntah-muntah lagi sampai ke Semarang. Bapakku yang sakit itu pun mulai dapat kekuatan baru untuk ganti merawatku. Tubuhku diolesi minyak kayu putih dan aku berbaring di pangkuan bapakku sambil dipijat-pijat terus. Inilah kalau 2 orang sakit saling menguatkan. 

   Sampai di Semarang aku mulai kelaparan hebat, rencana mau makan misoa di Indah Sari Mataram, tapi karena belum matang akhirnya cuma pesan soto. Aku masih tepar di mobil, ga kuat berdiri sehingga pelayan restoran itu yang datang ke mobil bawa semangkuk soto tanpa nasi. Bapak dan sopir makan di dalam restoran. Karena masih terasa mual, aku merasa soto itu jadi hambar. Tapi aku harus makan supaya ada kekuatan. Aku masih berjuang untuk sembuh. Rasanya ga mungkin ketemu dokter dengan kondisi seperti ini sedangkan aku yang harus menemani bapak dan menceritakan semua kronologi keluhan bapakku. Aku harus kuat.

    Setelah selesai makan, kami menuju ke tempat praktek dr. Priyadi di Jl. Sompok Baru 89 Semarang. Lokasinya dari Matahari Java Mall belok ke kiri, ya daerah dekat pasar kambing gtlah. Kami masuk ke dalam dan kulihat sudah banyak pasien mengantri disana. Aku mendaftar dan mengisi formulir pendaftaran pasien. Kami menunggu panggilan. 

   Yang menarik disana ketika aku sedang mengantri, kulihat ada sekumpulan pasien difabel dan autis mengantri juga disana. Sepertinya mereka datang rombongan dari sebuah yayasan. Ada 2 orang pemuda pemudi yang mengawal mereka. Aku sangat kagum pada dua anak muda ini. Entah siapa dan dari yayasan mana mereka itu. Sepertinya itu check up rutin. Salah satu anak autisnya berteriak-teriak ga jelas disampingku dan kadang ia mengamuk karena bukunya diambil temannya. 

   Beberapa saat kemudian, adikku datang dan bapakku dipanggil untuk ditensi, dicek suhu badannya dan ditimbang. Dokter datang dan pasien mulai dipanggil satu persatu sesuai urutan. Bapakku urutan ke-14. Kami sampai di Semarang jam 09.30 dan masuk diperiksa dokter jam 10.15. Dokternya sangat ramah dan komunikatif. Aku merasa nyaman ngobrol dengan dokter Priyadi. Aku menyerahkan hasil rontgen, dan hasil cek darah bapakku serta rujukan dokterku di Blora. Bapakku diperiksa dengan teliti dan dokter menyarankan bapakku untuk diopname dan CT Scan untuk mengetahui apakah ini bekas TB, cenderung TB, atau memang ada benjolan di paru kanannya.

Dokter menulis resep obat ada 4 macam. 
  • Curvit Emulsion Sirup : 3x 1 sdm 
  • Teosal Tablet 4x ½ tab 
  • Codein 10 mg 3x1 
  • Proneuron Metamizole Diazepam 3x1 
   Setelah itu aku ke kasir dan membayar biaya konsultasi Rp.100.000,- Selanjutnya kami menuju ke apotik Sarika Jl. Lampersari 31 Semarang. Disana rame sekali. Aku memberikan resep ke petugasnya dan disuruh menunggu. Setelah dipanggil aku membayar uang obat dan menunggu obatnya lagi. 
   Sementara menunggu, aku membayangkan lagi betapa banyaknya urusan yang harus kuurus. Balik lagi ke Semarang? Dan kali ini harus nginep di rumah sakit? Sedangkan perjalanan tadi saja aku sudah sangat tepar. Bingung melandaku. Belum lagi masalah makan masih jadi problem utama. Kalau ga nginep masih bs bawa bekal. Lah kalau nginep? Aku usir ketakutanku satu per satu. Ah yang penting dijalani saja. Demi bapakku aku harus kuat. Kalau bukan aku siapa lagi. Tepar sehari dua hari ga masalah yang penting bapakku sehat. Semoga ujian ini cepat berlalu. Aku paling paranoid kalau seperti ini. Setelah semua urusan selesai, kami pulang ke Blora. Sampai di rumah aku masih tepar dan langsung tidur.