Perkenalan Tono dan Yanti bisa dibilang cukup singkat. Karena umurnya yang sudah kepala empat membuatnya tak ingin menunda lagi rencana pernikahannya dengan Yanti, wanita yang baru dikenalnya sebulan itu. Tono nekad menikahi Yanti walaupun ia belum mapan. Pekerjaannya sebagai tukang cat panggilan mungkin kurang menjanjikan untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka nantinya.
Demi membantu menambah penghasilan, Yanti membuka warung kelontong kecil-kecilan dirumahnya. Hasilnya memang tak seberapa tetapi mereka bersyukur setidaknya uang itu masih cukup untuk makan sehari-hari. Selisih umur 16 tahun mungkin terbilang cukup jauh, namun alasan Yanti mau menikah dengan Tono karena ia memandang Tono sebagai laki-laki yang matang dan berperilaku baik. Lain dengan mantan pacarnya dahulu yang notabene lebih muda usianya dibanding Yanti dan perilakunya kurang baik.
Pernikahan yang dilangsungkan secara sederhana di rumah keluarga Yanti itu berjalan cukup lancar. Tono mengenakan jas hitam dan dasi sedangkan Yanti mengenakan baju kebaya. Meski diadakan secara sederhana namun banyak juga tamu undangan yang datang. Kado-kado pernikahan banyak dan bertumpuk di atas meja penerima tamu. Tono dan Yanti terlihat bahagia dengan pernikahan mereka.
***
Setelah menikah mereka dikaruniai dua orang anak. Anak pertama mereka berjenis kelamin perempuan sedangkan anak keduanya laki-laki. Karena tuntutan ekonomi yang besar akhirnya Tono mencoba mencari pekerjaan lain dan akhirnya ia diterima bekerja menjadi Tata Usaha di sebuah Sekolah Dasar sedangkan Yanti mulai membuka warung nasi pecel disamping membuka toko klontong.
Nasi pecel Yanti cukup laris karena selain ramah, ia juga pandai memasak. Banyak pelanggan laki-laki yang datang untuk menikmati nasi pecel buatannya. Setiap hari Yanti bisa setor uang ke Bank untuk ditabung dari hasil jualannya.
Merasa mempunyai penghasilan lebih besar dari suaminya dan godaan para pelanggan laki-laki yang makan di warungnya membuat sikap Yanti berubah terhadap suaminya. Ia merasa suaminya lemah dan tidak pandai mencari uang sepertinya. Sempat terbesit penyesalan karena menikah dengan Tono yang jauh lebih tua itu.
Ada seorang pelanggan laki-laki yang bernama Sigit mulai membujuk Yanti untuk menceraikan Tono. Bahkan demi menarik perhatian Yanti, ia mendekati anak-anaknya. Anak-anak Yanti sering ditraktir makan dan diberi uang oleh Sigit. Melihat hal ini, Tono hanya memendam rasa cemburunya di dalam hati saja.
Suatu hari Sigit meminta Yanti untuk bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga dirumahnya.
“Gimana Yan, kamu mau engga kerja di rumahku? Disana semuanya sudah pakai listrik, sumurnya aja sudah disanyo jadi kamu ga perlu susah-susah nimba air, ada mesin cuci, dll. Kerjaan jadi lebih ringan.” Bujuk Sigit.
Dengan iming-iming gaji yang cukup besar, Yanti meminta ijin kepada suaminya untuk merantau ke Jakarta.
“Mas, kita butuh uang banyak untuk membesarkan anak-anak. Aku juga ingin bebas. Pokoknya, aku mau kerja di Jakarta!”
“Ya, terserah kamu saja bagaimana baiknya. Lakukan saja yang kamu suka, mas engga mau mengekang kamu.”
Walaupun sebenarnya hati Tono tidak rela melepaskan kepergian istrinya dan mengingat anak-anaknya masih kecil yang butuh kasih seorang ibu, namun ia berusaha sabar serta mendukung niat baik istrinya.
Rencana Tuhan berkata lain, salah satu anak mereka sakit sehingga terpaksa Yanti harus membatalkan kepergiannya ke Jakarta. Dalam kekecewaannya itu lalu ia mencurahkan kekesalannya dengan menulis di papan tulis yang biasa dipakai anak-anaknya belajar itu. Ia menulis sebuah kalimat, “AKU INGIN BEBAS.”
Semenjak kejadian itu Yanti jadi sering marah-marah dan melampiaskan kemarahannya kepada suami dan anak-anaknya. Ia merasa suaminya menjadi penghambat cita-citanya.
Karena Yanti tidak bisa berangkat ke Jakarta, akhirnya ia mencarikan pembantu penggantinya untuk bekerja dirumah Sigit. Bukan hal sulit bagi Yanti untuk mencari pembantu karena kenalannya cukup banyak. Akhirnya ia meminta Siti, temannya untuk berangkat ke Jakarta bersama Sigit.
***
Seminggu kemudian, Yanti dikejutkan oleh kedatangan Siti yang tiba-tiba saja kembali dari Jakarta. Siti mengabarkan bahwa Sigit meninggal akibat kecelakaan dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata selama ini Sigit menipunya. Apa yang dulu dikatakan Sigit tentang adanya sanyo, mesin cuci, dan lain-lain itu semua bohong. Siti tetap menimba air di sumur dan mencuci dengan tangan.
Melalui kejadian ini Yanti disadarkan akan jati diri Sigit yang sebenarnya. Ia pun menyadari bahwa sikapnya selama ini pada Tono suaminya tidak berkenan di hati Tuhan. Yanti pun meminta maaf kepada suaminya dan hubungan mereka kembali berjalan dengan baik.
***
Beberapa bulan kemudian, rumah tangga mereka kembali diguncang oleh kehadiran laki-laki lain yaitu Idris, salah seorang pelanggan juga di warung nasi pecelnya. Yanti sering diajak bepergian dan pulang larut malam oleh Idris yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah bengkel yang cukup besar di Blora. Kali ini Tono pun masih bersabar melihat perselingkuhan istrinya itu. Ia hanya bisa berdoa mohon pengampunan kepada Tuhan tentang sikap istrinya yang mudah tergoda pria lain ini.
Tuhan pun mendengar doa Tono dan menegur Yanti dengan sebuah kejadian. Suatu hari Yanti mengeluh sakit di kepalanya. Sakit yang amat sangat seperti dipukul dengan martil. Bahkan pendengaran Yanti sebelah kanan tidak berfungsi normal. Ia pun akhirnya berobat ke sebuah klinik THT dikotanya. Berkali-kali menjalani pengobatan namun kondisinya masih belum pulih juga. Idrispun meninggalkan Yanti saat sakit, sebaliknya Tono lah yang selalu setia menemani Yanti berobat.
Karena tidak ada kemajuan, Yanti dirujuk ke rumah sakit lain di luar kota. Bagai petir di siang bolong, mereka berdua terkejut dengan vonis dokter bahwa Yanti menderita kanker telinga. Ini disebabkan karena kebiasaannya membersihkan telinga terlalu dalam sehingga terjadi infeksi yang mengarah munculnya kanker.
Yanti pasrah dengan keadaannya. Berbagai cara dilakukan Tono untuk mencari obat demi menyembuhkan istrinya itu. Walaupun sudah menjalani CT Scan, bestral sebanyak 25 kali dan operasi tiga kali, namun kondisi Yanti semakin buruk saja. Setiap malam ia mengerang kesakitan. Sel-sel kanker telah menggerogoti daun telinga kanannya. Tubuhnya kurus kering dan kepalanya gundul. Dalam keadaannya yang memprihatinkan itu ia hanya bisa pasrah menerima takdir.
Dengan setia Tono merawat istrinya itu, ia tidak mendendam walaupun Yanti sering melukai hatinya. Yanti menyesal karena berulangkali ingin bercerai dengan suami yang telah memberikannya dua orang anak ini.
Demi mencari kesembuhan untuk istrinya, hampir semua saran orang dilakoninya. Ia bahkan rela menelan cicak hidup untuk menyembuhkan kankernya. Namun usaha itupun sia-sia. Penyakit Yanti makin parah. Ia serasa dekat dengan ajal. Tak ada lagi upaya yang dilakukan selain menunggu hari kematiannya.
Setiap hari Tono memandikan dan mengobati Yanti dengan obat seadanya. Ia bahkan membuatkan kamar baru untuk istrinya agar lebih mudah dijenguk oleh orang lain.
pinjam gambar |
Ketika Tono menggendong Yanti untuk memindahkannya ke kamar baru itu, Yanti berkata “Mas, sekarang kamu sudah kuat menggendongku ya karena aku kurus engga kayak dulu. Maafkan aku mas karena aku pernah mencela tubuh kecilmu.” Mendengar ucapan Yanti, Tono hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
Pagi itu sebelum berangkat kerja, Yanti minta dibuatkan minuman bermacam-macam, ada teh, wedang kacang hijau, susu, dan air putih hangat. Dengan sabar Tono membuatkannya, namun tiba-tiba Yanti berperilaku aneh. Ia mengatur ulang gelas-gelas yang berisi minuman itu seperti membentuk barisan. Namun Tono tidak punya firasat apapun.
Tono pun pamit berangkat kerja dan ia meminta ibu mertuanya untuk menjaga Yanti. Ketika sedang bekerja tiba-tiba Tono menyenggol gelas sehingga jatuh dan pecah, perasaannya mulai tidak enak sehingga ia memutuskan untuk segera pulang kerumahnya. Baru saja ia masuk ke rumah dilihatnya Yanti sudah terbujur kaku di tempat tidur. Air matanya pun menetes menangisi kematian istrinya.
Ia masih belum rela dengan kematian istrinya itu, segera diambilnya minyak kayu putih dan dibalurkan ke sekujur tubuh Yanti sambil mencoba membangunkannya,
“Yan,….Yanti…. bangun yan…. Ayo bangun…. Yan….!”
Tubuh Yanti sudah dingin, bibirnya merot karena sarafnya tertarik kesamping. Daun telinga kanannya sudah tidak lagi. Kepala sebelah kananya berlubang dengan diameter 5 cm. Yanti sudah berbau busuk karena luka di telinganya itu bernanah dan berdarah. Usaha Tono gagal, ia harus menerima kematian istrinya itu. Cinta memang tak pernah salah, hanya orang yang salah mengartikan cinta dengan kepuasan fisik semata. Janji setia pernikahan yang diucapkan Tono kepada Yanti teruji melalui peristiwa ini.
Akhirnya, Yanti meninggal pada tanggal 29 Maret 1999 dalam usia ke 43 tahun. Ia meninggalkan suami dan dua orang anak. Kisah ini adalah kisah nyata kedua orang tua saya dan saya adalah anak pertama dari ibu Yanti, dengan nama lengkap Muryanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Silakan tuliskan komentar Anda di bawah ini. Komentar Anda sangat bermanfaat dan sangat saya hargai atau jika ada pertanyaan silakan tinggalkan pesan di livechat saya (sidebar kiri bawah)
Perhatian: saya akan menghapus otomatis komentar yang ada link hidupnya :D