“Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalanKu, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalanKu dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu”Yesaya 55:8-9
Sambil menunggu pesanan bakmie goreng di tengah hujan yang deras malam itu, aku dan bapakku ngobrol berdua. Jika teringat kembali musibah yang menimpa bapakku waktu itu, saya tak pernah berhenti bersyukur kepada Tuhan karena rencanaNya itu sangat heran menurutku. Ia sanggup memberikan berkat yang luar biasa di balik musibah yang kami alami. Begini ceritanya:
Di rumah aku tinggal berdua dengan bapakku karena
adikku harus bekerja diluar kota . Waktu itu, om ku yang di Jakarta yang sudah lama tidak
pernah bertemu tiba-tiba datang ke Blora karena menghadiri pemakaman kerabat
kami dan sekalian beliau mampir ke rumah kami. Ketika melihat kondisi rumah
yang masih sederhana dengan tembok campuran papan dan anyaman bamboo dengan
atap yang sudah rapuh dan sering bocor kena air hujan, membuatnya menawarkan
bantuan materi untuk merenovasi rumah kami. Hampir 30 tahun aku menempati rumah
ini. Begitu mendengar berita gembira itu aku sangat bersemangat untuk
menggambar design rumah yang kuimpikan. Ketika aku menunjukkan gambar itu
kepada bapak, beliau malah berkata, “Uangnya saja belum ada kog sudah bikin
gambarnya. Lagipula uangnya belum cukup buat membangun rumah kita hanya
beberapa bagian saja yang bisa direnovasi dengan uang tersebut.”
Aku cemberut
mendengar kata-kata bapak. Aku robek gambar rumah tadi dan aku buat yang baru
yang lebih sederhana. Aku sudah memimpikan bentuk rumahku nantinya dengan uang
itu. Kebetulan teman bapakku adalah seorang kontraktor bangunan, ketika aku
menunjukkan gambar itu kepadanya, dan meminta nya menghitung seluruh
pengeluaran renovasi, ia menunjukkan sejumlah besar biaya. Aku semakin berkecil
hati karena bantuan uang itu ternyata masih kurang untuk merenovasi rumah kami.
Sejenak aku melupakan impianku itu, “Ya sudahlah kalau memang belum cukup, aku
tabung saja dulu uang pemberian om.”
Beberapa hari itu kami sering menjual perabot rumah
yang sudah tidak kami gunakan, hitung-hitung untuk merapikan ruangan agar lebih
lapang dan semoga bisa menambah biaya renovasi. Tapi masih belum cukup juga,
pasalnya pembeli menghargai perabot itu lebih murah.
Pagi itu, aku ada janji dengan salah seorang
pembeli meja kayu jati bekas milik kami. Tapi entah kenapa bapakku tidak mau menemuinya.
Beliau menyuruhku untuk mengadakan transaksi jual beli sendirian, sedangkan
bapakku malah pergi ke tukang cukur naik sepeda padahal rambutnya belum terlalu
perlu untuk dicukur. Aneh rasanya beliau bersikeras pergi sendirian. Aku
santai-santai saja nonton TV dirumah sambil menunggu pembeli.
Beberapa menit setelah bapakku berangkat, pembeli
itu pun datang bersama suaminya. Aku keluar dan membukakan pagar, tiba-tiba
datanglah dua orang pria tak kukenal dan memberitahukan kepadaku bahwa ayahku
kecelakaan. Belum sempat aku menyuruh pembeli itu masuk, aku bergegas mengambil
sepedaku dan dompet serta 1 liter air mineral ke tempat kejadian. Pikiranku
mulai kalut dan aku panik, rasanya tidak percaya, bagaimana mungkin di jalan
sepi seperti itu bapakku bisa kena musibah tabrak lari.
Pembeli mejaku itu tidak jadi membeli meja tapi
memberiku sejumlah uang untuk biaya berobat ayahku. Aku menemui ayahku yang
sudah duduk di teras rumah orang dikerumuni banyak anak SMEA, karena peristiwa
kecelakaan di depan sekolah itu. Aku pikir bapakku tidak mengalami luka serius,
ketika aku melihat kepala kanannya aku sangat terkejut karena kepala kanan
bapakku berdarah. Dan darahnya membasahi kaos putih yang dipakainya. Panik,
sedih, takut bercampur jadi satu. Aku titipkan sepeda yang kunaiki dan naik
becak bersama bapak ke dokter. Tadinya mau ke rumah sakit langsung tapi
mengingat setiap memakai kartu jamkesmas harus lewat rujukan dari puskesmas
dulu, maka kuputuskan membawa bapak langsung ke UGD puskesmas, tapi karena lokasinya
agak jauh, aku coba kedokter yang paling dekat dengan tempat kejadian. Aku
gemes juga karena becak yang kami naiki dikayuh pelan sekali oleh tukang
becaknya yang sudah tua.”Haduh…kapan sampainya kalau begini?” Bapakku harus
segera dirawat karena darahnya menetes terus. Beliau hanya shock dan setengah
sadar dengan terus bertanya, “Aku dimana? Aku kenapa?” begitu terus. Sialnya, sesampainya di dokter terdekat ternyata
dokternya keluar kota . Mau tak mau aku harus
menuju ke UGD puskesmas.
Sampai di puskesmas kira-kira pukul 11.00 WIB. Aku
turun dari becak dan lari ke loket pendaftaran. Sial lagi loket sudah tutup.
Aku lari ke UGD dan meminta bantuan. Aku tak peduli entah mereka mau terima
pasien atau tidak yang penting aku ke sana . Syukurlah akhirnya mereka
mau menerima. Bapakku dibaringkan di tempat tidur UGD. Beliau minta minum teh
manis karena tidak mau minum air mineral yang kubawa. Aku terpaksa lari lagi
membeli teh manis. Aku meminumkannya dengan sedotan sambil menunggu dokter
jaga. Ketika dokter datang dan mulai menjahit kepala bapakku, aku diluar
ruangan memegang hp dan sms adikku sambil menangis. Sesekali aku berdoa dalam
hati, “Ya Tuhan yang bener aja, aku sendirian nih. Aku takut Tuhan. Kenapa
harus sekarang ? Jangan sekarang ya Tuhan.” Pikiranku mulai kacau. Perutku
mulai mual karena perih. 11.20 WIB. Aku harus makan siang, tapi bekalku ada
dirumah. Aku mulai panik, karena sejak sembuh dari sakit Bile Refluks, aku
harus makan teratur dan hanya bisa makan masakanku sendiri.
Yang membuatku makin panik adalah dokter menyuruhku
membawa langsung bapakku ke UGD rumah sakit. Bagaimana ini? Aku sudah kelaparan
bentar lagi mau pingsan, kalau aku tidak segera pulang ke rumah dan makan, aku
bisa pingsan di jalan. Kalau aku tidak segera membawa bapak ke rumah sakit,
nanti kondisi nya makin parah.” Dilema rasanya,aku terus berdoa minta kekuatan
dari Tuhan sambil terus minum air mineral yang kubawa dari rumah tadi.
Dengan sedikit tenaga yang tersisa akhirnya aku
putuskan membawa bapakku lebih dulu ke UGD RSU naik becak yang sama yang
jalannya hampir sama dengan siput. Gemes banget kalau inget waktu itu. Sampai
di UGD, aku serahkan kartu jamkesmas itu dan meminta tolong tukang becak untuk
menjaga bapakku sementara aku tinggal pulang sebentar. Aku lari lagi naik becak
lain untuk mengantarku pulang kerumah. Sampai di rumah, segera kuraih kotak
bekalku dan makan dengan terburu-buru. Adikku berencana akan pulang siang itu
juga naik motor pinjaman temannya.
Setelah makan siang rasanya aku hidup kembali bagai
batere lowbat yang habis dicharge. Aku naik becak lagi menuju rumah sakit.
Sesampainya disana ternyata adikku sudah datang dan ada beberapa teman yang
menjenguk bapakku. Lega rasanya, aku teringat pada tukang becak yang mengantar
kami tadi dan aku pergi mencarinya keluar untuk membayar uang becak. Syukur
kepada Tuhan karena tukang becak itu baik banget mau menunggu kami selama itu. Setelah
sudah selesai segala urusan bayar becak, aku kembali kekamar bapakku dan
menjaganya.
Sore itu, aku pulang ke rumah dengan membawa baju
ganti untuk bapakku. Kondisi bapakku tidak ada perubahan, beliau masih sering
vertigo dan muntah serta kurang nafsu makan. Malam itu aku bergantian dengan
adikku menjaga bapak. Semalaman aku tidak bisa tidur karena bau obat nyamuk dan
rokok di kamar pasien membuat nafasku sesak.
Karena tidak ada perubahan, adikku berencana
membawa bapakku ke rumah sakit di luar kota . Pikiranku mulai tidak
karuan. Aku melupakan rencana renovasi rumah, karena pikirku pasti uangnya
kepake buat berobat.
Sebelum bapakku berangkat naik ambulance. Beliau
memberiku amplop berisi sejumlah uang untuk disimpan. Aku masuk ke toilet rumah
sakit dan menghitung uang sumbangan itu lalu pulang kerumah. Adikku yang
bertugas mengantar bapak sedangkan aku tinggal di rumah karena kondisi
kesehatanku tidak memungkinkan aku keluar kota .
Selama kurang lebih 2 minggu, bapakku dirawat dan
akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Makin hari kondisinya makin membaik.
Dan ketika aku menanyakan adikku berapa uang yang harus dibayar untuk semua
pengobatan + ambulance itu ia berkata, sudah dibayar lunas. Jadi kami tidak
perlu mengeluarkan uang lagi. Uang yang aku pikir akan habis karena untuk bayar
biaya rumah sakit ternyata tak sepeserpun keluar. Sungguh ajaib benar Tuhan
kami. Apa yang manusia pikirkan sungguh berbeda dengan apa yang Tuhan mau.
Tuhan tahu kami membutuhkan tambahan cukup banyak uang untuk biaya renovasi rumah. Melalui musibah ini, Tuhan kasih berkat tambahan. “Ini lho nak, rencanaKU dibalik musibah ini.” Aku baru sadar, dan bersyukur kepadaNYA. Segera setelah bapakku pulih dari sakit, aku langsung memanggil tukang bangunan dan mulai renovasi rumah. Syukurlah meskipun uangnya hanya cukup untuk renovasi ruang tamu saja kami sangat bersyukur punya ruangan dengan atap eterntit dan tembok bata serta lantai keramik. Doa kami selanjutnya, kami bergumul bisa merenovasi kamar dan dapur ke depannya. Thanks God, rancanganMu sangat indah. Tuhan sanggup memberikan tambahan berkatNya dibalik musibah yang menimpa kami. Haleluya Amin. Inilah gambar ruang tamu dan ruang les ku setelah direnovasi:
Semangat ya mba.. Tuhan Memberkati..:)
BalasHapusmakasi mbak Helma...:)
HapusYa ya ada pelangi indah setelah hujan.
BalasHapusSalam
:)
salam knal mbak astuti... makasi ya sudah mampir
HapusI write a blog which I have entitled “Accordingtothebook” and I’d like to invite you to follow it. I’m your newest follower.
BalasHapusHi, nice to meet you and thank you very much if you had followed my blog ^_^
Hapussungguh mengharukan mba, kesabaran dan bakti mba Susan sungguh luar biasa.
BalasHapusterima kasih mbak Uniek atas kunjungannya.... :)
HapusSelalu ada hikmah di setiap peristiwa. berkah kebaikan yang ditabur, pasti akan menuai kebaikan juga. tetap berbuat baik ya say...semangat terus
BalasHapusYa mbak Passy, makasih ya atas kunjungannya...^_^
HapusSalam kenal mbak
BalasHapusYa tapi ini siapa kog ga ada namanya? :)
Hapusmakasih ya partisipasinya.
BalasHapusYa...sama-sama
Hapus